Senin, 19 Januari 2009

KLASIFIKASI NYERI

A. Berdasarkan sumbernya
§ Cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar)
ex: terkena ujung pisau atau gunting
§ Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pemb. Darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lbh lama daripada cutaneus
ex: sprain sendi
§ Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan

B. Berdasarkan penyebab:
 Fisik
Bisa terjadi karena stimulus fisik (Ex: fraktur femur)
Psycogenic
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. (Ex: orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)
Biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut


C. Berdasarkan lama/durasinya

§ Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol.

§ Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yan gtidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.


Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik

Nyeri akut
Nyeri kronik
Lamanya dalam hitungan menit
Ditandai peningkatan BP, nadi, dan respirasi
Respon pasien:Fokus pada nyeri, menyetakan nyeri menangis dan mengerang
Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri

Lamanyna sampai hitungan bulan, > 6bln
Fungsi fisiologi bersifat normal
Tidak ada keluhan nyeri
Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon terhadap nyeri



D. Berdasarkan lokasi/letak
§ Radiating pain
Nyeri menyebar dr sumber nyeri ke jaringan di dekatnya (ex: cardiac pain)
§ Referred pain
Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg diperkirakan berasal dari jaringan penyebab
§ Intractable pain
Nyeri yg sangat susah dihilangkan (ex: nyeri kanker maligna)
§ Phantom pain
Sensasi nyeri dirasakan pada bagian.Tubuh yg hilang (ex: bagian tubuh yang diamputasi) atau bagian tubuh yang lumpuh karena injuri medulla spinalis




FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON NYERI
§ Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
§ Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri)
§ Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. (ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri)
§ Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
§ Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
§ Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
§ Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
§ Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
§ Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.

TENTANG NYERI

Nyeri merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama proses penyakit, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri). Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kolcaba yang mengatakan bahwa kenyamanan adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.

A. DEFINISI
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa nyeri adalah sensori spesifik yang muncul karena adanya injury dan informasi ini didapat melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf nyeri perifer dan spesifik di spinal cord
Secara umum keperawatan mendefinisikan nyeri sebagai apapun yg menyakitkan tubuh yg dikatakan individu yg mengalaminya, yg ada kapanpun individu mengatakannya



B. ISTILAH DALAM NYERI
Nosiseptor : serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri
§ Non-nosiseptor : serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri
System nosiseptif : system yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri
Ambang nyeri : stimulus yg paling kecil yg akan menimbulkan nyeri
§ Toleransi nyeri : intensitas maksimum/durasi nyeri yg individu ingin untuk dpt ditahan


C. SIFAT-SIFAT NYERI
§ Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi
§ Nyeri bersifat subyektif dan individual
§ Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah
§ Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien
§ Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya
§ Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis
§ Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan
§ Nyeri mengawali ketidakmampuan
§ Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak optimal
Secara ringkas, Mahon mengemukakan atribut nyeri sebagai berikut:
§ Nyeri bersifat individu
§ Nyeri tidak menyenangkan
§ Merupakan suatu kekuatan yg mendominasi
§ Bersifat tidak berkesudahan




D. FISIOLOGI NYERI
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:
§ Resepsi : proses perjalanan nyeri

§ Persepsi : kesadaran seseorang terhadap nyeri

§ Reaksi : respon fisiologis & perilaku setelah mempersepsikan nyeri




RESEPSI

Stimulus (mekanik, termal, kimia) à Pengeluaran histamin bradikinin, kalium, à
Nosiseptor à Impuls syaraf à Serabut syaraf perifer à Kornu dorsalis medulla spinalis à Neurotransmiter (substansi P)à Pusat syaraf di otak àRespon reflek protektif



§




Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C. impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protektif.

Contoh:
Apabila tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika.
Proses ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal. Ada beberapa factor yang menggangu proses resepsi nyeri, diantaranya sebagai berikut:
§ Trauma
§ Obat-obatan
§ Pertumbuhan tumor
§ Gangguan metabolic (penyakit diabetes mellitus)



Tipe serabut saraf perifer

Serabut saraf A-delta :
§ Merupakan serabut bermyelin
§ Mengirimkan pesan secara cepat
§ Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya
§ Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti , otot tendon dll
§ Biasanya sering ada pada injury akut
§ Diameternya besar

Serabut saraf C
§ Tidak bermyelin
§ Diameternya sangat kecil
§ Lambat dalam menghantarkan impuls
§ Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten
§ Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan halus
§ Reseptor terletak distruktur permukaan.

NEUROREGULATOR
§ Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan penting pada pengalaman nyeri
§ Substansi ini titemukan pada nocicepåtor yaitu pada akhir saraf dalam kornu dorsalis medula spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik
§ Neuroregulator ada dua macam yaitu neurotransmitter dan neuromodulator

§ Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara dua serabut saraf
contoh: substansi P, serotonin, prostaglandin
§ Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf yang melalui synaps.
Contoh: endorphin, bradikinin
§ Neuromodulator diyakini aktifitasnya secara tidak langsung bisa meningkatkan atau menurunkan efek sebagian neurotransmitter

Teori gate control
n Dikemukanan oleh Melzack dan wall pada tahun 1965
n Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.
n Dalam teori ini dijelaskan bahwa Substansi gelatinosa (SG) yg ada pada bagian ujung dorsal serabut saraf spinal cord mempunyai peran sebagai pintu gerbang (gating Mechanism), mekanisme gate control ini dapat memodifikasi dan merubah sensasi nyeri yang datang sebelum mereka sampai di korteks serebri dan menimbulkan nyeri.
n Impuls nyeri bisa lewat jika pintu gerbang terbuka dan impuls akan di blok ketika pintu gerbang tertutup
n Menutupnya pintu gerbang merupakan dasar terapi mengatasi nyeri
n Berdasarkan teori ini perawat bisa menggunakannya untuk memanage nyeri pasien
n Neuromodulator bisa menutup pintu gerbang dengan cara menghambat pembentukan substansi P.
n Menurut teori ini, tindakan massase diyakini bisa menutup gerbang nyeri.

PERSEPSI
§ Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek.
§ Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi
§ Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut:
Stimulus nyeri à Medula spinalis àTalamus à Otak (area limbik) Reaksi emosi à Pusat otak à Persepsi

Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area limbik yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan nyeri.

Mengukur Kepuasan Pelanggan

Suatu proses penilaian pelanggan bisa positif atau negatif berdasarkan pengalamannya. Kepuasan atau ketidakpuasan adalah suatu keputusan penilaian. Puas atau tidaknya seseorang tergantung pada sikapnya terhadap ketidaksesuaian (rasa senang atau tidak senang), serta tingkatan daripada evaluasi baik atau tidak untuk dirinya, melebihi ataukah di bawah standar dirinya. Standar mungkin adalah suatu harapan dimana nilai yang diharapkan akan terwujud, sebelumnya lebih dulu melakukan pembelian atau menggunakannya. Standar dapat berupa penampilan yang diperkirakan, berdasarkan norma dan pengalaman, kewajaran, nilai-nilai, ideal, toleransi minimum, kepantasan, dan keinginan atau janji penjual.

Pelayanan di rumah sakit termasuk pelayanan jasa, dan untuk mengukur kepuasan pasien terhadap pelayanan di rumah sakit bisa mengacu pada kualitas pelayanan jasa. Faktor-faktor yang digunakan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan jasa menurut Parasuraman et al. (1991), didalam mengevaluasi jasa yang bersifat intangibles, pelanggan umumnya menggunakan beberapa atribut antara lain bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. Sedangkan keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan dari para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pepelayanan dengan tanggap. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan kemampuan kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Dan empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.

UNSUR KEPUASAN PASIEN

A. Kinerja / Kualitas Pelayanan
Goetsch dan Davis dalam Tjiptono (1997) mengatakan kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi harapan. Juran dalam Wijono (1999) menyatakan kualitas merupakan perwujudan atau gambaran-gambaran hasil-hasil yang mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dari pelanggan dalam memberikan kepuasan. Lebih lanjut menurut Juran dalam Parani (1997), ia menyampaikan bahwa dua hal yang berhubungan dengan kualitas suatu produk yaitu, produk harus mempunyai keistimewaan dan bebas defisiensi.
Parasuraman dalam Pujawan (1997) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan merupakan ukuran penilaian menyeluruh atas tingkat suatu pelayanan yang baik. Sedangkan Gronroos et al. dalam Pujawan (1997) mendefinisikan kualitas pelayanan (service quality) sebagai hasil persepsi dari perbandingan antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual pelayanan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Jika kualitas jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa akan dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyediaan jasa dalam memenuhi harapan pemakainya secara konsisten.
Djoko Wijono (1999) menjelaskan kualitas/mutu pelayanan, khususnya di bidang kesehatan yang ditinjau dari berbagai aspek, antara lain dari sudut pandang pasien, petugas kesehatan, dan manajer. Dari sudut pandang pasien, mutu pelayanan berarti suatu emphati, respek, dan tanggap akan kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung. Pada umumnya mereka ingin pelayanan yang mengurangi gejala secara efektif dan mencegah penyakit, sehingga mereka beserta keluarganya sehat dan dapat melakukan tugas mereka sehari-hari tanpa gangguan fisik.
Dimensi mutu pelayanan kesehatan ditegaskan oleh Djoko Wijono (1999) terdapat 8 hal, antara lain kompetensi teknis, akses terhadap pelayanan, efektifitas, efisiensi, kontiunitas/kesinambungan, keamanan, hubungan antar manusia, serta kenyamanan (Wijono, 1999 : 35-37). Dimensi yang serupa juga dijelaskan oleh Parani (1997), dimana ia mengemukakan tentang pengertian pelayanan jasa yang unggul (service excellence) : yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Sasaran dan manfaat dari service excellence secara garis besar terdapat empat unsur pokok yaitu : kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat unsur pokok tersebut merupakan suatu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, artinya pelayanan atau jasa menjadi tidak sempurna bila ada salah satu dari unsur tersebut diabaikan.
Untuk mencapai hasil yang unggul, setiap karyawan harus memiliki keterampilan tersebut, diantaranya berpenampilan baik serta bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan selalu siap melayani, tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaan dengan baik, maupun kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat dan yang penting adalah mampu menangani keluhan pelanggan secara baik.
Lebih lanjut oleh Kotler (1997) disebutkan tentang kelima determinan kualitas jasa tersebut yaitu antara lain:
1) Kehandalan, yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat waktu;
2) Responsif, yaitu kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat;
3) Keyakinan, yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan;
4) Empati, yaitu menunjuk pada syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi kepada pelanggan; dan
5) Berujud, yaitu menunjuk pada fasilitas fisik, peralatan, personil dan media komunikasi.

B. Harapan Klien
Menurut teori Kotler (1997 : 36) dalam bukunya Service Quality, kepuasan pelanggan merupakan kondisi terpenuhinya harapan pelanggan atas service/pelayanan yang diberikan. Apabila pelayanan yang diberikan sesuai atau melebihi harapan/ekspektasi pelanggan, mereka akan puas. Sebaliknya apabila pelayanan yang diberikan ternyata di bawah ekspektasi, mereka cenderung tidak puas. Oleh karena itu, mengetahui ekspektasi pelanggan sangat penting dipahami oleh perusahaan.

Ekspektasi juga dapat dibentuk dari pengalaman pelanggan sebelumnya. Jika pelanggan pernah memperoleh pelayanan dalam 15 menit dari sebuah restoran pizza, dia akan memiliki ekspektasi bahwa layanan dari restoran tersebut tidak akan lebih dari 15 menit, pada kunjungan berikutnya. Seberapa tinggi ekspektasi klien dan seberapa jauh toleransi yang diberikan oleh klien menjadi satu hal yang perlu diperhatikan oleh service provider. Tidak semua ekspektasi klien mungkin dipenuhi. Ada area abu-abu yang terletak antara dua titik ekstrem yang disebut oleh Zeithmal sebagai Zone of Tolerance. Dalam mendeliver pelayanan ada yang disebut sebagai Desired Service yakni tingkat pelayanan yang seharusnya dilakukan oleh Service Provider atau Adequate Service yaitu tingkat minimum pelayanan yang dapat diterima oleh pelanggan.

Kepuasan Pasien

Menurut Philips Kotler (1997) kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dengan harapan-harapannya. Penjelasan dari definisi tersebut adalah bahwa kepuasan merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Dan jika kinerja berada di atas harapan, pelanggan akan sangat puas.

A. Teori Kepuasan
Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang ada dalam dirinya. Teori Maslow ini didasarkan pada tiga asumsi dasar, antara lain bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari hirarki kebutuhan yang paling dasar hingga kebutuhan yang paling kompleks atau paling tinggi tingkatannya. Asumsi kedua adalah bahwa keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat mempengaruhi perilaku seseorang, di mana hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat menggerakkan perilaku. Kebutuhan yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi sebagai motivator. Asumsi terakhir adalah bahwa kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan yang hirarkinya lebih rendah telah terpenuhi atau terpuaskan secara minimal.

Atas dasar asumsi di atas, Maslow membagi kebutuhan dasar manusia secara berturut-turut mulai yang paling dasar hingga yang paling tinggi tingkatannya adalah sebagai berikut :
1) kebutuhan fisiologis;
2) kebutuhan rasa aman;
3) kebutuhan sosial;
4) kebutuhan penghargaan; dan
5) kebutuhan aktualisasi diri.

Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan yang paling dasar, yang meliputi kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan, minum, bernafas, tidur, kebutuhan seksual, dan lain sebagainya. Kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan rasa aman (security need) akan menjadi motivator jika kebutuhan fisiologis telah terpenuhi. Kebutuhan rasa aman ini meliputi keamanan dan perlindungan dari bahaya kecelakaan, infeksi, trauma, dan termasuk pula jaminan hari tua. Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpenuhi, akan muncul kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial ini meliputi kebutuhan persahabatan, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan interaksi dengan orang lain. Kebutuhan komunikasi termasuk salah satu kebutuhan sosial ini.

Setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman dan kebutuhan sosial terpenuhi secara minimal, akan muncul kebutuhan berikutnya yaitu kebutuhan akan penghargaan atau harga diri (self-esteem). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk dihormati, dihargai atas prestasi yang telah diraihnya. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, selanjutnya muncul kebutuhan yang paling tinggi hirarkinya, yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Aktualisasi diri merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak pernah terpuaskan. Malahan kebutuhan ini ada kecenderungan potensinya makin meningkat, karena orang mengaktualisasikan perilakunya.

B. Kepuasan Pelanggan
Kepuasan pelanggan adalah hasil yang dicapai pada saat keistimewaan produk merespon kebutuhan pelanggan. Kepuasan pelanggan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain yang berhubungan dengan pendekatan/perilaku petugas, perasaan pasien terutama saat pertama kali datang, mutu informasi apa yang diterima, seperti apa yang dikerjakan, apa yang dapat diharap, dan prosedur perjanjian. Selain itu juga dapat berhubungan dengan waktu tunggu, fasilitas umum yang tersedia, fasilitas perhotelan untuk pasien seperti makan, minum, privasi dan pengaturan kunjungan, serta outcome terapi dan perawatan yang diterima.

Unsur dan Prinsip Komunikasi Terapeutik

Unsur-unsur dalam komunikasi terapeutik adalah terdiri dari komunikator, komunikan, pesan yang disampaikan dan lingkungan waktu komunikasi berlangsung.
· Sumber proses komunikasi yaitu pengirim dan penerima pesan. Prakarsa berkomunikasi dilakukan oleh sumber ini dan sumber juga menerima pesan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam mengirim.
· Pesan-pesan yang disampaikan dengan menggunakan penyandian baik yang berupa bahasa verbal maupun non verbal.
· Penerima yaitu orang yang menerima pengiriman pesan dan membalas pesan yang disampaikan oleh sumber, sehingga dapat diketahui mengerti tidaknya suatu pesan.
· Lingkungan waktu komunikasi berlangsung, yang dalam hal ini meliputi saluran penyampaian dan penerimaan pesan serta lingkungan alamiah saat pesan disampaikan.
· Saluran penyampaian pesan melalui indra manusia yaitu pendengaran, penglihatan, pengecap dan perabaan.

Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik
Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik adalah:
a. Petugas harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.
c. Petugas harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.
d. Petugas harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.
e. Petugas harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi.
f. Petugas harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi.
g. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
h. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.
i. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
j. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu petugas perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual dan gaya hidup.
k. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
l. Altruisme, yaitu mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara manusiawi.
m. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.
n. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.

Teknik Komunikasi Terapeutik

Banyak metode atau teknik komunikasi terapeutik yang dapat diterapkan oleh petugas dalam membina hubungan interpersonal dengan klien. Petugas dapat secara aktif mendengarkan pembicaraan atau keluhan-keluhan pasien. Kemudian dalam menanggapi pembicaraan klien, petugas sebaiknya menggunaan pertanyaan terbuka dan tidak terkesan menghakimi pasien. Mengulang dan mengklarifikasi topik atau isi dan ide pokok pembicaraan yang dianggap penting juga sangat baik dilakukan oleh petugas untuk memperjelas tujuan dari komunikasi yang sedang dilangsungkan.

Jika isi pembicaraan dengan klien cenderung melenceng, petugas perlu melakukan focusing, untuk mengarahkan kembali pada topik pembicaraan yang diperlukan. Rasa humor dalam berkomunikasi perlu dipelihara oleh petugas dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi saat melempar humor. Memposisikan diri sejajar dengan klien sangat baik dilakukan, agar petugas dapat dengan mudah menangkap isi pembicaraan klien, dan klien merasa senang dan aman berada dekat dengan petugas.

Petugas juga perlu menjaga sikapnya, misalnya dengan mengendalikan emosi saat klien memperlihatkan perilaku yang kurang menyenangkan, yang penting dilakukan oleh petugas adalah mengarahkan perilaku klien tanpa harus melukai perasaannya. Menunjukkan sikap terbuka dan siap menolong, tidak menyilangkan kaki atau melipat tangan karena sikap ini menunjukkan sikap kurang terlibat. Bila klien duduk sendiri, ikutlah duduk di sebelah klien atau tepuklah punggungnya dan tanyakan ada apa. Gunakan teknik sentuhan misalnya dengan menyentuh tangannya agar klien merasa dihargai dan mempercayai kita.
Teknik selanjutnya adalah memberikan informasi untuk pendidikan kesehatan pada klien, sehingga pengetahuan klien akan kesehatan dirinya meningkat yang selanjutnya diharapkan dapat merubah perilaku yang sebelumnya kurang adaptif menjadi lebih adaptif. Sara-saran yang dianggap perlu untuk mengatasi masalah klien perlu diberikan petugas, baik ditanya maupun tidak ditanyakan oleh klien. Melakukan pendidikan kesehatan, bisa pula dilakukan dengan membagi persepsi dan pengalaman petugas dengan klien.

Komunikasi Terapeutik

Hubungan terapeutik antara dokter, petugas, dan petugas kesehatan lain dengan klien adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik. Sumber lain menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar petugas dengan pasien. Persoalan mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling kebutuhan antar petugas dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara petugas dengan pasien, petugas membantu dan pasien menerima bantuan.

A. Tahapan / Fase dalam Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik terdiri atas 4 fase, yaitu fase pra interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Setiap fase atau tahapan komunikasi terapeutik mencerminkan uraian tugas dari petugas. Purwanto (1994) membagi tahapan komunikasi dalam tiga fase, yaitu fase orientasi, fase lanjutan dan fase terminasi.

1. Fase Prainteraksi
Pada fase prainteraksi ini, petugas harus mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan sendiri. Petugas juga perlu menganalisa kekuatan kelemahan profesional diri. Selanjutnya mencari data tentang klien jika mungkin, dan merencanakan pertemuan pertama dengan pasien.

2. Fase Orientasi
Fase ini meliputi pengenalan dengan pasien, persetujuan komunikasi atau kontrak komunikasi dengan pasien, serta penentuan program orientasi. Program orientasi tersebut meliputi penentuan batas hubungan, pengidentifikasian masalah, mengakaji tingkat kecemasan diri sendiri dan pasien, serta mengkaji apa yang diharapkan dari komunikasi yang akan dilakukan bersama antara petugas dan klien.
Tugas petugas pada fase ini adalah menentukan alasan klien minta pertolongan, kemudian membina rasa percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka. Merumuskan kontrak bersama klien, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan klien sangat penting dilakukan petugas pada tahap orientasi ini. Dengan demikian petugas dapat mengidentifikasi masalah klien, dan selanjutnya merumuskan tujuan dengan klien.

3. Fase kerja / lanjutan
Pada fase kerja ini petugas perlu meningkatkan interaksi dan mengembangkan faktor fungsional dari komunikasi terapeutik yang dilakukan. Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, atau dengan menggunakan teknik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan dalam mengembangkan hubungan kerja sama. Mengembangkan atau meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik dengan melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, meningkatkan komunikasi pasien dan mengurangi ketergantungan pasien pada petugas, dan mempertahankan tujuan yang telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
Tugas petugas pada fase kerja ini adalah mengeksplorasi stressor yang terjadi pada klien dengan tepat. Petugas juga perlu mendorong perkembangan kesadaran diri klien dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif, dan mengarahkan atau mengatasi penolakan perilaku adaptif.

4. Fase terminasi
Fase terminasi ini merupakan fase persiapan mental untuk membuat perencanaan tentang kesimpulan pengobatan yang telah didapatkan dan mempertahankan batas hubungan yang telah ditentukan. Petugas harus mengantisipasi masalah yang akan timbul pada fase ini karena pasien mungkin menjadi tergantung pada petugas. Pada fase ini memungkinkan ingatan pasien pada pengalaman perpisahan sebelumnya, sehingga pasien merasa sunyi, menolak dan depresi. Diskusikan perasaan-perasaan tentang terminasi.
Pada fase terminasi tugas petugas adalah menciptakan realitas perpisahan. Petugas juga dapat membicarakan proses terapi dan pencapaian tujuan. Saling mengeksplorasi perasaan bersama klien tentang penolakan dan kehilangan, sedih, marah dan perilaku lain, yang mungkin terjadi pada fase ini.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mahasiswa

A. Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologis mahasiswa terdapat dua macam, yaitu kondisi fisiologis yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Kondisi fisiologis umum berpengaruh dalam menunjang proses belajar mahasiswa. Mahasiswa yang segar jasmaninya serta kondisi kesehatan terawat dengan baik, akan meningkatkan kemampuan belajarnya. Kondisi fisiologis khusus melibatkan cara memfungsikan panca indera saat proses belajar berlangsung, terutama penglihatan dan pendengaran. Mahasiswa yang kondisi fisiknya lemah, sering sakit-sakitan, cacat salah satu atau beberapa dari panca indera, prestasinya juga akan kurang dibandingkan dengan anak yang normal. Maka perlulah diperhatikan kondisi fisik mahasiswa yang belajar.

B. Kondisi Psikologis
Setelah diterima sebagai mahasiswa, merupakan suatu keharusan bahwa kondisi psikologis harus benar-benar dipersiapkan. Hal ini perlu disadari, oleh karena tanpa suatu kesadaran yang mantap, akan berakibat tersendat-sendatnya proses dan keberhasilan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Saifuddin Azwar (2002) membedakan kondisi psikologis ini dalam 2 kategori, yaitu variabel non kognitif dan kemampuan kognitif. Variabel non kognitif terdiri dari minat, motivasi, dan variabel-variabel kepribadian lainnya. Sedangkan variabel kognitif terdiri atas kemampuan khusus (bakat) dan kemampuan umum (intelegensia).

C. Kemampuan Pembawaan
Kita ketahui bahwa tidak ada dua orang yang pembawaannya sama. Juga di dalam kemampuan belajar, setiap orang mempunyai potensi kemampuan sendiri-sendiri. Misalnya kemampuan pembawaan berupa kecerdasan. Kecerdasan sangat menentukan kecepatan atau penerimaan pelajaran. Tetapi jelas mahasiswa yang cerdas tanpa memelihara kecerdasannya yakni tanpa belajar dengan teratur, akan berakibat tersendat-sendat perjalanan studinya. Sebaliknya, yang kurang cerdas, tapi belajar rajin, teratur, terjadwal dan terprogram, meskipun tidak secepat kemampuan mahasiswa yang cerdas, akan tetap lancar studinya.

D. Kemauan Belajar (Minat dan Motivasi)
Tak ada seorangpun yang memungkiri, bahwa tanpa minat dan motivasi tidak akan tercapai hal yang diharapkan. Motivasi adalah penting sekali bagi belajar. Untuk dapat memberi motivasi pada orang yang belajar, kita harus mengetahui dasar psikis dari orang yang belajar. Orang yang belajar adalah orang yang hidup yang telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan, kesenangan dan ketidaksenangan, emosi, sikap kecemasan serta ketakutan. Selain itu, manusia datang ke dunia telah mempunyai keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan ini makin lama makin meningkat dan makin kompleks.

E. Sikap terhadap Guru dan Mata Kuliah
Sikap mahasiswa terhadap guru dan mata kuliahnya akan mempengaruhi proses belajarnya. Mahasiswa yang benci terhadap guru tidak akan lancar belajarnya. Mungkin sikap siswa terhadap guru dipengaruhi oleh penampilan dan sikap dari guru yang bersangkutan. Guru yang tidak ramah, selalu muram, dan cara berpakaian yang kurang baik akan mempengaruhi sikap siswa. Demikian pula sikap mahasiswa terhadap mata kuliah juga merupakan faktor penentu keberhasilan belajar.

F. Bimbingan
Di dalam belajar, mahasiswa butuh bimbingan. Beimbingan ini perlu diberikan untuk mencegah usaha-usaha yang membuta sehingga anak tidak mengalami kegagalan, melainkan dapat membawa kesuksesan. Bimbingan dapat menghindari kesalahan dan memperbaikinya.

G. Ulangan
Didalam belajar perlu adanya ulangan-ulangan. Hal ini merupakan elemen yang vital dalam belajar. Adanya ulangan ini dapat menunjukkan pada orang yang belajar kemajuan-kemajuan dan kelemahan-kelemahannya. Dengan demikian orang yang belajar akan menambah usahanya untuk belajar. Penting diperhatikan tentang memberitahukan hasil ulangan, dan perlu mediskusikan kesalahan-kesalahan yang terjadi, supaya kesalahan baru tidak diperbuat lagi.

Faktor Individual dalam Pengambilan Keputusan

Sebelumnya telah dikemukakan proses dasar pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang dalam pengambilan keputusan. Dalam kenyataannya pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seseorang tidak sistematis seperti proses yang dikemukakan sebelumnya. Keputusan individu dalam organisasi biasanya dilakukan untuk permasalahan-permasalahan yang tidak kompleks. Dalam pengambilan suatu keputusan individu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu nilai individu, kepribadian dan kecenderungan dalam pengambilan resiko.

A. Nilai individu pengambil keputusan
Nilai-nilai individu pengambil keputusan merupakan keyakinan dasar yang digunakan seseorang jika ia dihadapkan pada permasalahan dan harus mengambil suatu keputusan. Nilai-nilai ini telah tertanam sejak kecil melalui suatu proses belajar dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam banyak keadaan individu bahkan tidak berfikir untuk menyusun / menilai keburukan dan lebih ditarik oleh kesempatan untuk menang.

B. Kepribadian
Keputusan yang diambil seseorang juga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti kepribadian. Dua variabel utama kepribadian yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat, seperti ideologi versus kekuasaan dan emosional versus obyektivitas. Beberapa pengambil keputusan memiliki suatu orientasi ideologi tertentu yang berarti keputusan dipengaruhi oleh suatu filosofi atau suatu perangkat prinsip tertentu. Sementara itu pengambil keputusan atau orang lain mendasarkan keputusannya pada suatu yang secara politis akan meningkatkan kekuasaannya secara pribadi.

Beberapa pengambil keputusan kadang kala emosionalnya mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Emosional tersebut dapat berupa kecenderungan kepribadian seseorang atau emosional yang berasal dari kebutuhan akan perlindungan. Emosional dapat mempengaruhi cara suatu permasalahan dianalisis, jenis informasi dan alternatif yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Informasi yang obyektif diabaikan, dan keputusan hanya didasarkan pada perasaannya saja. Sementara itu beberapa pengambil keputusan yang lain lebih obyektif, dimana mereka menghindari adanya kekeliruan persepsi tentang permasalahan maupun informasi yang berkaitan dengannya.

C. Kecenderungan terhadap pengambilan resiko
Untuk meningkatkan kecakapan dalam membuat keputusan, perawat haus membedakan situasi ketidakpastian dari situasi resiko, karena keputusan yang berbeda dibutuhkan dalam kedua situasi tersebut. ketidakpastian adalah kurangnya pengetahuan hasil tindakan, sedangkan resiko adalah kurangnya kendali atas hasil tindakan dan menganggap bahwa si pengambil keputusan memiliki pengetahuan hasil tindakan walaupun ia tidak dapat mengendalikannya. Lebih sulit membuat keputusan dibawah ketidakpastian dibanding dibawah kondisi bahaya. Dibawah ketidakpastian si pengambil keputusan tidak memiliki dasar rasional terhadap pilihan satu strategi atas strategi lainnya.

Dalam mengambil suatu keputusan ada orang yang senang dengan resiko dan ada orang yang tidak senang. Ada juga orang yang dikatakan netral terhadap resiko. Orang yang senang dengan resiko akan berbeda dalam mengevaluasi serangkaian alternatif maupun memilih suatu alternatif dengan mereka yang tidak senang dengan resiko. Dalam keputusan investasi misalnya, orang yang senang dengan resiko akan memilih investasi yang memberikan hasil yang besar sekalipun resikonya juga besar. Sebaliknya, orang yang tidak senang dengan resiko akan memilih alternatif investasi yang resikonya paling kecil sekalipun hasilnya juga rendah.
Neil Niven (2002) menerangkan secara aplikatif bahwa jika suatu keputusan mempunyai resiko yang tinggi, orang akan lebih mungkin mengikuti aturan yang rasional dan matematis. Banyak keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pasien mencakup resiko tingkat tinggi dan karenanya mempunyai komponen penggunaan subyektif dan membutuhkan pertimbangan yang cermat.

Elemen-elemen Dasar dalam Pengambilan Keputusan

1. Menetapkan tujuan
Pengambilan keputusan harus memiliki tujuan yang akan mengarahkan tujuannya, apakah spesifik yang dapat diukur hasilnya ataupun sasaran yang bersifat umum. Tanpa penetapan tujuan, pengambil keputusan tidak bisa menilai alternatif atau memilih suatu tindakan. Keputusan pada tingkat individu, tujuan ditentukan oleh masing-masing orang sesuai dengan sistem nilai seseorang. Pada tingkat kelompok dan organisasi, tujuan ditentukan oleh pusat kekuasaan melalui diskusi kelompok, konsensus bersama, pembentukan kualisi dan berbagai macam proses yang mempengaruhi. Ditambahkan oleh Wijono, bahwa tujuan harus dibagi menurut pentingnya, ada tujuan yang bersifat harus atau tidak bisa ditawar, dan ada tujuan yang bersifat keinginan, yang mana masih bisa ditawar.

2. Mengidentifikasi Permasalahan
Proses pengambilan keputusan umumnya dimulai setelah permasalahan diidentifikasi. Permasalahan merupakan kondisi dimana adanya ketidaksamaan antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan. Permasalahan dalam organisasi dapat berupa rendahnya produktivitas, adanya konflik disfungsional, biaya operasional yang terlalu tinggi, pelayanan tidak memuaskan klien, dan lain-lain. Pengambilan keputusan yang efektif memerlukan adanya identifikasi yang tepat atas penyebab permasalahan. Jika penyebab timbulnya permasalahan tidak dapat diidentifikasi dengan tepat, maka permasalahannya yang ada tidak dapat diselesaikan dengan baik. Ada tiga kesalahan yang sering terjadi dalam mengidentifikasi permasalahan, yaitu mengabaikan permasalahan yang ada, pemusatan perhatian pada gejala dan bukan pada penybab permasalahan yang sebenarnya, serta melindungi diri karena informasi dianggap mengancan harga diri.

3. Mengembangkan sejumlah alternatif
Setelah permasalahan diidentifikasi, kemudian dikembangkan serangkaian alternatif untuk menyelesaikan permasalahan. Organisasi harus mengkaji berbagai informasi baik interen maupun eksteren untuk mengembangkan serangkaian alternatif yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang terjadi. Pengembangan sejumlah alternatif memungkinkan seseorang menolak untuk membuat keputusan yang terlalu cepat dan membuat lebih mungkin pencapaian keputusan yang efektif.
Proses pengambilan keputusan yang rasional mengharuskan pengambil keputusan untuk mengkaji semua alternatif pemecahan masalah yang potensial. Akan tetapi dalam kenyataannya seringkali terjadi bahwa proses pencarian alternatif pemecahan masalah seringkali terbatas.

4. Penilaian dan pemilihan alternatif
Setelah berbagai alternatif diidentifikasi, kemudian dilakukan evaluasi terhadap masing-masing alternatif yang telah dikembangkan dan dipilih sebuah alternatif yang terbaik. Alternatif-alternatif tindakan dipertimbangkan berkaitan dengan tujuan yang ditentukan, apakah dapat memenuhi keharusan atau keinginan. Alternatif yang terbaik adalah dalam hubungannya dengan sasaran atau tujuan yang hendak dicapai. Bidang ilmu statistik dan riset operasi merupakan model yang baik untuk menilai berbagai alternatif yang telah dikembangkan.

5. Melaksanakan keputusan
Jika salah satu dari alternatif yang terbaik telah dipilih, maka keputusan tersebut kemudian harus diterapkan. Sekalipun langkah ini sudah jelas, akan tetapi sering kali keputusan yang baik sekalipun mengalami kegagalan karena tidak diterapkan dengan benar. Keberhasilan penerapan keputusan yang diambil oleh pimpinan bukan semata-mata tanggung jawab dari pimpinan akan tetapi komitmen dari bawahan untuk melaksanakannya juga memegang peranan yang penting (Gillies, 1996; Gitosudarmo, 1997).
Dalam mengevaluasi dan memilih alternatif suatu keputusan seharusnya juga mempertimbangkan kemungkinan penerapan dari keputusan tersebut. Betapapun baiknya suatu keputusan apabila keputusan tersebut sulit diterapkan maka keputusan itu tidak ada artinya. Pengambil keputusan membuat keputusan berkaitan dengan tujuan yang ideal dan hanya sedikit mempertimbangkan penerapan operasionalnya (Gitosudarmo, 1997).

6. Evaluasi dan pengendalian
Setelah keputusan diterapkan, pengambil keputusan tidak dapat begitu saja menganggap bahwa hasil yang diinginkan akan tercapai. Mekanisme sistem pengendalian dan evaluasi perlu dilakukan agar apa yang diharapkan dari keputusan tersebut dapat terealisir. Penilaian didasarkan atas sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan yang bersifat khusus dan mudah diukur dapat mempercepat pimpinan untuk menilai keberhasilan keputusan tersebut. Jika keputusan tersebut kurang berhasil, di mana permasalahan masih ada, maka pengambil keputusan perlu untuk mengambil keputusan kembali atau melakukan tindakan koreksi. Masing-masing tahap dari proses pengambilan keputusan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, termasuk dalam penetapan sasaran tujuan (Wijono, 1999; Gitosudarmo, 1997).

Jenis-jenis Keputusan
Jenis-jenis keputusan dalam 2 kategori, yaitu keputusan yang direncanakan / diprogram dan keputusan yang tidak direncanakan / tidak terprogram.

A. Keputusan yang diprogram
Keputusan yang diprogram merupakan keputusan yang bersifat rutin dan dilakukan secara berulang-ulang sehingga dapat dikembangkan suatu prosedur tertentu. Keputusan yang diprogram terjadi jika permasalahan terstruktur dengan baik dan orang-orang tahu bagaimana mencapainya. Permasalahan ini umumnya agak sederhana dan solusinya relatif mudah. Di perguruan tinggi keputusan yang diprogram misalnya keputusan tentang pembimbingan KRS, penyelenggaraan Ujian Akhir Semester, pelaksanaan wisuda, dan lain sebagainya (Gitosudarmo, 1997).

B. Keputusan yang tidak diprogram
Keputusan yang tidak diprogram adalah keputusan baru, tidak terstrutur dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Tidak dapat dikembangkan prosedur tertentu untuk menangani suatu masalah, apakah karena permasalahannya belum pernah terjadi atau karena permasalahannya sangat kompleks dan penting. keputusan yang tidak diprogram dan tidak terstruktur dengan baik, apakah karena kondisi saat itu tidak jelas, metode untuk mencapai hasil yang diinginkan tidak diketahui, atau adanya ketidaksamaan tentang hasil yang diinginkan (Wijono, 1999).

Keputusan yang tidak diprogram memerlukan penanganan yang khusus dan proses pemecahan masalah dengan intuisi dan kreatifitas. Tehnik pengambilan keputusan kelompok biasanya dilakukan untuk keputusan yang tidak diprogram. Hal ini disebabkan oleh karena keputusan yang tidak diprogram biasanya bersifat unik dan kompleks, dan tanpa kriteria yang jelas, dan umumnya dilingkari oleh kontroversi dan manuver politik (Wijono, 1999). Gillies (1996) menyebutkan bahwa keputusan yang tidak diprogram adalah keputusan kreatif yang tidak tersusun, bersifat baru, dan dibuat untuk menangani suatu situasi dimana strategi/prosedur yang ditetapkan belum dikembangkan.

Pengambilan Keputusan

A. Definisi
Dee Ann Gullies (1996) menjelaskan definisi Pengambilan keputusan sebagai suatu proses kognitif yang tidak tergesa-gesa terdiri dari rangkaian tahapan yang dapat dianalisa, diperhalus, dan dipadukan untuk menghasilkan ketepatan serta ketelitian yang lebih besar dalam menyelesaikan masalah dan memulai tindakan. Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hani Handoko (1997), pembuatan keputusan adalah kegiatan yang menggambarkan proses melalui mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu.

B. Cara Pengambilan Keputusan
Banyak cara atau gaya dalam pengambilan keputusan. Ada orang yang cenderung menghindari masalah, ada juga yang berusaha memecahkan / menyelesaikan masalah, bahkan ada yang mencari-cari masalah. Pada prinsipnya, cara pengambilan keputusan mengacu pada bagaimana seseorang mengolah informasi, apakah lebih dominan menggunakan pikirannya, ataukah dengan perasaannya. Setelah semua informasi diperoleh melalui fungsi persepsi, maka seseorang harus melakukan sesuatu dengan informasi tersebut. Informasi tersebut harus diolah untuk memperoleh suatu kesimpulan guna mengambil suatu keputusan ataupun membentuk suatu opini. Ada gambaran preferensi mengenai dua cara yang berbeda tentang bagaimana seseorang mengambil keputusan ataupun memberikan penilaian, yaitu dengan berfikir dan dengan perasaan.
Salah satu cara untuk mengambil keputusan adalah dengan mempergunakan daya nalar. Dengan pikiran biasanya kita akan memperkirakan konsekwensi logis dari suatu tindakan ataupun pilihan yang diambil. Apabila kita mengambil keputusan atas dasar pikiran, maka kita akan mengambil keputusan tersebut secara objektif berdasarkan sebab dan akibat. Setelah melalui analisa atas dasar fakta dan data yang ada, maka kita akan mengambil keputusan sesuai dengan konsekwensi logis yang terjadi, walaupun mungkin terdapat hal-hal yang kurang mengenakkan. Orang dengan preferensi daya nalar dalam proses pengambilan keputusan, cenderung untuk mencari kebenaran yang seobjektif mungkin. Mereka pada umumnya sangat mahir dalam menganalisa mana yang benar dan mana yang salah’
Cara yang lain untuk mengambil keputusan adalah dengan mempergunakan perasaan. Perasaan disini bukan berarti emosi, melainkan dengan mempertimbangkan dampak dari suatu putusan terhadap diri sendiri dan/atau orang lain. Apakah manfaatnya bagi diri sendiri dan/atau orang lain (tanpa mempersyaratkan terlebih dahulu bahwa hal tersebut haruslah logis). Pengambilan keputusan atas dasar perasaan ini berlandaskan pada nilai-nilai pribadi atau norma-norma, dan bukan mengacu pada tindakan yang dapat disebut emosionil. Apabila kita mengambil keputusan berdasarkan perasaan, kita akan mempertanyakan seberapa jauh kita pribadi akan melibatkan diri secara langsung, seberapa jauh kita merasa turut bertanggung jawab terhadap dampak atas keputusan yang diambil, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Mereka yang mempunyai preferensi menggunakan perasaan dalam mengambil keputusan, cenderung bersikap simpatik, bijaksana dan sangat menghargai sesama.

C. Faktor yang Terkait dengan Pengambilan Keputusan
1. Kecenderungan Dalam Memfokuskan Perhatian
Extroversion dan introversion adalah skala yang menggambarkan preferensi kearah mana seseorang lebih suka memfokuskan perhatian. Ada dua arah yang berlawanan kemana seseorang dapat memfokuskan perhatian yaitu kearah dunia diluar dirinya atau kearah dunia didalam dirinya.
Orang yang lebih menyukai extroversion, cenderung untuk memfokuskan perhatiannya kepada dunia di luar dirinya, yaitu terhadap orang-orang sekelilingnya dan kejadian-kejadian disekitarnya. Ketika sedang melaksanakan extroversion dia akan sangat bergairah terhadap apa yang sedang berlangsung disekitarnya, dan inilah yang akan menimbulkan kecenderungan kearah mana dia mengarahkan perhatian dan energinya. Orang extrovert lebih menyukai berkomunikasi melalui kata-kata dari pada dengan tulisan. Mereka akan lebih mudah memahami sesuatu setelah mengalaminya terlebih dahulu, oleh sebab itu mereka adalah orang yang menyukai tindakan dari pada ide/pemikiran (action oriented).
Orang yang lebih menyukai introversion cenderung untuk memfokuskan perhatiannya kedalam dunia pemikirannya sendiri. Pada saat mereka sedang melakukan introversion, mereka bergairah terhadap apa yang sedang bergolak di dalam pemikirannya, dan inilah yang akan menimbulkan kecenderungan untuk mengarahkan perhatian dan energinya terhadap pemikiran tersebut. Orang yang introvert cenderung untuk merasa lebih nyaman dan tertarik apabila menghadapi suatu pekerjaan yang menuntut pembahasan dan pemikiran yang dapat dilakukan sendiri secara tenang. Mereka cenderung untuk mencoba mengerti dan memahami sesuatu sebelum mencoba atau mengalaminya. Oleh karena itu mereka cenderung untuk selalu berfikir terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan.

2. Bagaimana Cara Seseorang Memperoleh Informasi
Sensing dan Intuition adalah skala yang menggambarkan preferensi terhadap dua cara yang berbeda perihal bagaimana anda memperoleh, merasakan dan mencoba memahami sesuatu atau informasi. Suatu proses bagaimana anda menjalankan fungsi persepsi terhadap dunia luar. Informasi yang relevan diperlukan untuk membuat keputusan manajemen berkualitas tinggi, namun informasi tersebut jika berlebihan akan dapat mengganggu pengambilan keputusan. Demikian pula sebaliknya, jika informasi tersebut terlalu sedikit.
Salah satu cara untuk merasakan dan memahami sesuatu adalah dengan mempergunakan panca indra kita. Melalui mata, telinga, penciuman dan indra lainnya, individu dapat merasakan dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Panca indra sangatlah berguna untuk dapat merasakan dan memahami apa yang terjadi saat ini dan secara nyata. Dengan demikian mereka cenderung realistik dan praktis. Mereka biasanya sangat mahir untuk bekerja dengan berbagai macam data dan fakta.
Cara yang lain untuk memahami sesuatu dengan intuisi, dimana kita mencoba untuk memahami makna atau lambang, hubungan serta pola-pola yang ada, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya, lebih dari sekedar apa yang telah kita tangkap melalui panca indra. Melalui intuisi individu mencoba untuk memahami gambaran secara keseluruhan suatu masalah dan mencoba untuk memperoleh pola dasar hubungan antar unsur-unsurnya dalam masalah tersebut. Orang yang lebih menyukai intuisi cenderung akan tumbuh dan berkembang menjadi lebih mampu melihat kemungkinan-kemungkinan lain dan cara baru untuk menangani suatu masalah. Mereka sangat menghargai imajinasi dan inspirasi baru.

3. Bagaimana Seseorang Bersikap Terhadap Dunia Luar
Judgement dan Perception adalah skala yang menggambarkan preferensi bagaimana seseorang di dalam hidup ini menghadapi dunia luar, dengan perkataan lain bagaimana ia menanganinya atau mengambil sikap terhadapnya. Arah yang diambil dalam mengambil sikap ini, sangat erat berkaitan dengan dua skala terdahulu, yaitu skala pikiran dan perasaan yang berhubungan dengan sikap mengambil keputusan atau skala sensing dan intuisi yang berhubungan dengan sikap perseptif.
Mereka yang lebih suka mengambil sikap mengambil keputusan, Judgement (baik berdasarkan pikiran, atau perasaan) cenderung untuk mengambil sikap hidup yang terencana dan teratur, serta berkeinginan sedapat mungkin mengatur dan mengendalikan hidupnya. Apabila kita sedang menggunakan preferensi sikap mengambil keputusan, kita berusaha untuk mengambil suatu ketetapan atau keputusan dan kemudian melaksanakannya. Dengan demikian orang yang mempunyai preferensi sikap mengambil keputusan, cenderung untuk menghendaki agar segala sesuatunya jelas, teratur dengan baik dan bila ada masalah ingin segera diselesaikan.
Mereka yang lebih suka mengambil sikap perseptif apabila menghadapi dunia luar (baik itu menggunakan indra/sensing, atau dengan intuisi) cenderung untuk bersikap bebas spontan dan fleksibel dalam menghadapi hidup. Ketika kita mempergunakan fungsi persepsi, kita mengumpulkan segala macam informasi dan membiarkan segala macam kemungkinan tetap terbuka. Oleh karena itu orang dengan preferensi sikap hidup perseptif, cenderung untuk mencoba memahami hidup dari pada mencoba untuk mengendalikannya. Dengan mengandaalkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan situasi dan keadaan, mereka cenderung untuk tetap terbuka terhadap segala macam kemungkinan dan mencoba untuk menikmati serta mengalami setiap kejadian dalam hidup.

D. Kombinasi Fungsi dalam Pengambilan Keputusan
1. Sensing Plus Thinking (ST)
Kombinasi ini adalah kombinasi Indera dan Pikiran. Orang ST pada setiap saat hanyalah tertarik pada hal-hal yang nyata, suatu realitas. Baginya realitas berarti apa yang dapat diamati, yang dapat dikumpulkan, dapat diverifikasi secara langsung dengan menggunakan panca indranya, mata, hidung, telinga, dan sebagainya. Karena cara proses pengambilan keputusannya berdasarkan pikirannya, maka mereka mengandalkan analisa yang logis dan urutan yang sistimatis dalam setiap proses. Mereka lebih mengandalkan kaidah sebab-akibat dalam mencapai keputusan ataupun kesimpulan akhir.

2. Sensing Plus Feeling (SF)
Indera dan Perasaan. Orang SF juga cenderung untuk mengamati realitas pada setiap situasi. Akan tetapi karena proses pengambilan keputusannya didasarkan pada perasaan, mereka membuat keputusan dengan mempertimbangkan dampaknya pada orang-orang yang terkena akibat keputusan itu. Kemampuan pengamatannya yang tinggi, terutama pada manusia, membuat mereka sangat sensitif terhadap reaksi dan perasaan orang-orang pada umumnya.

3. Intuition plus Feeling (NF)
Intuisi dan Perasaan. Orang NF membuat keputusannya dengan simpatik dan penuh pertimbangan manusiawi. Karena Intuitif, mereka pada dasarnya agak kurang tertarik pada fakta, tetapi lebih pada kemungkinan yang akan terjadi. Mereka lebih tertarik pada hal-hal yang baru, sesuatu yang mungkin belum terjadi saat ini tetapi mungkin akan terjadi dalam masa mendatang, proyek-proyek baru, atau susuatu pemikiran yang harus diteliti lebih lanjut, dan sebagainya. Terlebih lagi apabila hal-hal baru tersebut menyangkut manusia, hal tersebut akan sangat menarik baginya.

4. Intuition Plus Thinking (NT)
Intuisi dan Pikiran. Orang NT juga merupakan manusia yang senang melihat hal-hal yang mungkin terjadi, akan tetapi karena mereka lebih menyukai menggunakan pikiran, sehingga mereka akan menangani hal-hal yang mungkin terjadi atas dasar analisa obyektif dan rasional. Mereka akan tertarik pada pekerjaan dimana mereka dapat mempergunakan keahlian analisanya untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi, atau sesuatu rekayasa. Hal-hal serupa ini banyak dijumpai dalam bidang sains dan teknologi ataupun dalam bidang karya ilmiah/akademis.

Minggu, 18 Januari 2009

PERANAN KADER DALAM KEGIATAN PENINGKATAN GIZI BALITA


A. Penimbangan Balita dan Pencatatan Hasil Timbangan

Penimbangan balita dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan balita. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam penimbangan balita di Posyandu adalah:

1) Menggantungkan dacin pada dahan pohon atau palang rumah atau penyangga yang lain

2) Memeriksa apakah dacin sudah tergantung dengan kuat

3) Meletakkan bandul geser pada angka 0 (nol) sebelum dipakai

4) Memasang sarung timbang/celana timbang/kotak timbang pada dacin

5) Menyeimbangkan dacin yang sudah dibebani sarung timbang/kotak timbang

6) Melakukan penimbangan pada anak

7) Menentukan berat badan anak dengan membaca angka di ujung bandul geser

8) Mencatat hasil penimbangan di secarik kertas sebelum ditulis di KMS

9) Sebelum anak diturunkan, menggeser bandul geser ke angka 0 (nol) dan meletakkan batang dacin dalam tali pengaman.

Setelah anak selesai ditimbang, dilakukan pencatatan hasil penimbangan di KMS. Beberapa hal yang harus dilakukan kader adalah:

1) Pada penimbangan pertama :

a) mengisi semua kolom yang tersedia di KMS

b) mengisi bulan lahir anak pada kolom “bulan dan tahun kelahiran anak”

c) mengisi semua kolom bulan setelah kolom bulan lahir anak

d) membuat / meletakkan titik berat badan anak pada titik temu garis tegak dengan garis datar sesuai hasil timbangan.

2) Pada penimbangan selanjutnya, menghubungkan titik hasil penimbangan bulan sebelumnya dengan titik hasil penimbangan bulan sekarang.

3) Mencatat kejadian penting atau penyakit yang diderita anak dalam garis tegak sesuai bulan yang bersangkutan.

B. Penyuluhan Atas Dasar Hasil Penimbangan

Berbagai hal yang harus disampaikan kader dalam memberikan penyuluhan pada ibu balita berdasarkan hasil penimbangan adalah:

1) Pada penimbangan pertama

a) Kader menjelaskan bahwa hasil penimbangan belum dapat diketahui jika berat badan anak berada di garis hijau atau kuning

b) Menjelaskan bahwa berat badan anak tidak normal jika berat badan anak berada di garis merah.

c) Menganjurkan ibu untuk menimbangkan anaknya bulan depan secara teratur.

2) Pada penimbangan selanjutnya:

a) Jika bulan lalu tidak ditimbang, kader menjelaskan bahwa hasil penimbangan belum dapat diketahui kecuali jika didapatkan tanda/gejala penyakit.

b) Bila berat badan anak naik, memberi pujian pada ibu dan anaknya

c) Bila berat badan tidak naik, kader memberikan penyuluhan pada ibu menggunakan lembar Balik “Menuju Keluarga Sehat”

d) Kader menanyakan pola makan anak sehari-hari dan apakah anak sakit.

e) Menganjurkan ibu untuk menimbangkan anaknya secara teratur setiap bulan.

3) Bila berat badan anak tidak naik tiga kali berturut-turut atau berada di bawah garis merah:

a) Kader menjelaskan pada ibu arti grafik, menjelaskan bahwa anak memerlukan pemeriksaan dan pengobatan segera

b) Kader membuat surat pengantar dan menganjurkan ibu balita membawa anak ke Puskesmas.

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar khususnya dalam kegiatan penyuluhan antara lain lingkungan sosial, yaitu manusia dengan segala interaksinya, subyek belajar, perlengkapan belajar dan alat-alat peraga, materi yang dipelajari, penyuluh atau fasilitator belajar serta metode belajar mengajar.

C. Memberikan Penyuluhan Pedoman Pemberian Makanan Balita

Hal-hal yang dapat dilakukan kader dalam memberikan penyuluhan pada ibu-ibu balita adalah:

1) Menggunakan lembar balik untuk kegiatan penyuluhan

2) Memperagakan alat dan bahan yang tersedia

3) Membuat acara tanya jawab dengan ibu-ibu, tidak terus bicara sendiri.

4) Berterus terang bahwa tidak dapat menjawab bila ada pertanyaan yang sulit dijawab, selanjutnya akan ditanyakan pada petugas yang lebih memahami.

D. Melakukan Kunjungan Rumah Untuk Memantau Perkembangan Kesehatan Balita

Kegiatan:

1) Kunjungan rumah dilakukan kader kesehatan terhadap keluarga atau ibu-ibu yang

a) Balitanya tidak hadir dua kali berturut-turut di Pos Penimbangan

b) Balitanya yang bulan lalu dikirim ke Puskesmas karena sakit, berat badannya tidak naik selama tiga bulan beruturut-turut, dan berat badannya di bawah garis merah KMS

2) Kegiatan yang dilakukan saat kunjungan rumah :

a) Memberi penyuluhan kembali mengenai manfaat datang ke Posyandu

b) Menanyakan alasan tidak hadir ke Posyandu, dan keadaan keluarga ibu balita

c) Bila mendapatkan balita atau ibunya sakit, kader mengirim mereka ke Puskesmas dengan membuat Surat Pengantar.

d) Mendoakan keluarga agar cepat sembuh

e) Mengajak ibu balita untuk datang kembali ke Posyandu bulan depan.

TENTANG POSYANDU

A. Pengertian Posyandu
Adalah suatu forum komunikasi, alih tehnologi dan pelayanan kesehatan masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Posyandu juga merupakan tempat kegiatan terpadu antara program Keluarga Berencana – Kesehatan di tingkat desa.
Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Posyandu adalah pusat pelayanan keluarga berencana dan kesehatan yang dikelola dan diselenggarakan untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dalam rangka pencapaian NKKBS.

B. Bentuk kegiatan Posyandu
Beberapa kegiatan diposyandu diantaranya terdiri dari lima kegiatan Posyandu (Panca Krida Posyandu), antara lain:
1) Kesehatan Ibu dan Anak
a) Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan dan menyusui, serta bayi, anak balita dan anak prasekolah
b) Memberikan nasehat tentang makanan guna mancegah gizi buruk karena kekurangan protein dan kalori, serta bila ada pemberian makanan tambahan vitamin dan mineral
c) Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimilasinya
d) Penyuluhan kesehatan meliputi berbagai aspek dalam mencapai tujuan program KIA.
2) Keluarga Berencana
a) Pelayanan keluarga berencana kepada pasangan usia subur dengan perhatian khusus kepada mereka yang dalam keadaan bahaya karena melahirkan anak berkali-kali dan golongan ibu beresiko tinggi
b) Cara-cara penggunaan pil, kondom dan sebagainya
3) Immunisasi
Imunisasi tetanus toksoid 2 kali pada ibu hamil dan BCG, DPT 3x, polio 3x, dan campak 1x pada bayi.
4) Peningkatan gizi
a) Memberikan pendidikan gizi kepada masyarakat
b) Memberikan makanan tambahan yang mengandung protein dan kalori cukup kepada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kepada ibu yang menyusui
c) Memberikan kapsul vitamin A kepada anak-anak dibawah umur 5 tahun
5) Penanggulangan Diare

Lima kegiatan Posyandu selanjutnya dikembangkan menjadi tujuh kegiatan Posyandu (Sapta Krida Posyandu), yaitu:
1) Kesehatan Ibu dan Anak
2) Keluarga Berencana
3) Immunisasi
4) Peningkatan gizi
5) Penanggulangan Diare
6) Sanitasi dasar. Cara-cara pengadaan air bersih, pembuangan kotoran dan air limbah yang benar, pengolahan makanan dan minuman
7) Penyediaan Obat essensial.

C. Pembentukan Posyandu
Posyandu dibentuk dari pos-pos yang telah ada seperti:
1) Pos penimbangan balita
2) Pos immunisasi
3) Pos keluarga berencana desa
4) Pos kesehatan
5) Pos lainnya yang dibentuk baru.

D. Alasan Pendirian Posyandu
Posyandu didirikan karena mempunyai beberapa alasan sebagai berikut:
1) Posyandu dapat memberikan pelayanan kesehatn khususnya dalam upaya pencegahan penyakit dan PPPK sekaligus dengan pelayanan KB.
2) Posyandu dari masyarakat untuk masyarakat dan oleh masyarakat, sehingga menimbulkan rasa memiliki masyarakat terhadap upaya dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana (Effendi, 1998).

E. Penyelenggara Posyandu
1) Pelaksana kegiatan, adalah anggota masyarakat yang telah dilatih menjadi kader kesehatan setempat dibawah bimbingan Puskesmas
2) Pengelola posyandu, adalah pengurus yang dibentuk oleh ketua RW yang berasal dari keder PKK, tokoh masyarakat formal dan informal serta kader kesehatan yang ada di wilayah tersebut (Effendi, 1998).

F. Lokasi / Letak Posyandu
Syarat lokasi/letak yang harus dipenuhi meliputi:
1) Berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat
2) Ditentukan oleh masyarakat itu sendiri
3) Dapat merupakan lokal tersendiri
4) Bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan di rumah penduduk, balai rakyat, pos RT/RW atau pos lainnya.

G. Pelayanan Kesehatan Di Posyandu
Adapun pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh posyandu meliputi:
1) Pemeliharaan kesehatan bayi dan balita
a) Penimbangan bulanan
b) Pemberian tambahan makanan bagi yang berat badannya kurang
c) Immunisasi bayi 3-14 bulan
d) Pemberian orlit untuk menanggiulangi diare
e) Pengobatan penyakit sebagai pertolongan pertama

2) Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan pasangan usia subur
a) Pemeriksaan kesehatan umum
b) Pemeriksaan kehamilan dan nifas
c) Pelayanan peningkatan gizi melalui pemberian vitamin dan tablet besi
d) Immunisasi TT untuk ibu hamil
e) Penyuluhan kesehatan dan KB
f) Pemberian alat kontrasespsi KB
g) Pemberian oralit pada ibu yang terkena diare
h) Pengobatan penyakit sebagai pertolongan pertama
i) Pertolongan pertama pada kecelakaan (Effendi, 1998).

Dalam pelaksanaan tugasnya kader pada posyandu selalu didampingi oleh tim dari Puskesmas, seperti pada pelaksanaan pada meja IV, apabila kader menemui masalah kesehatan, kader harus berkonsultasi pada petugas kesehatan yang ada, masalah tersebut dapat berupa:
a) Balita yang berat badanya tidak naik tiga kali berturut-turut.
b) Balita yang berat badanya di bawah garis merah.
c) Balita yang sakit; batuk, sukar bernafas, demam dan sakit telinga.
d) Balita yang mencret.
e) Anak yang menderita buta senja atau mata keruh.
f) Balita dengan penyimpangan tumbuh kembang atau perkembangan terlambat.
g) Ibu yang pucat, sesak nafas, bengkak kaki terutama ibu hamil.
h) Ibu hamil yang menderita perdarahan, pusing kepala yang terus menerus (Depkes RI-Unicef, 2000).

Bentuk kegiatan lain yang masih dilokasi Posyandu berupa;
1) Mencatat hasil kegiatan UPGK dalam regester balita sampai terbentuknya balok SKDN.
2) Membahas bersama - sama kegiatan lain atas saran petugas.
3) Menetapkan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan seperti penyuluhan.
Sedangkan bentuk kegiatan yang dilakukan diluar posyandu berupa:
1) Melaksanakan kunjungan rumah.
2) Menggerakkan masyarakat untuk menghadiri dan ikut serta dalam kegiatan UPGK.
3) Memanfaatkan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga.
4) Membantu petugas dalam pendaftaran, penyuluhan, dan peragaan ketrampilan (Depkes RI-Unicef, 2000).

Apabila kader menjumpai kesulitan dalam menjalankan tugasnya dalam posyandu, maka mereka dapat menghubungi orang-orang berikut sebagai upaya untuk mencari jalan keluar:
a) Bidan desa.
b) Kepala Desa.
c) Tokoh masyarakat / tokoh agama.
d) Petugas LKMD, RT, RW.
e) Tim Penggerak PKK.
f) Petugas PLKB.
g) Petugas pertanian ( PPL ).
h) Tutor dari P dan K.

H. Dukungan Dari Puskesmas/ Petugas Kesehatan
Memberikan pelatihan kepada kader yang terdiri dari:
1) Aspek komunikasi.
2) Tehnik berpidato.
3) Kepemimpinan yang mendukung Posyandu.
4) Proses pengembangan.
5) Tehnik pergerakan peranserta masyarakat.
6) Memberikan pembinaan pada kader setelah kegiatan Posyandu berupa:
a) Cara melakukan pendataan / pencatatan.
b) Cara meningkatkan kemampuan kader dalam menyampaikan pesan kesehatan pada masyarakat.
7) Memotivasi untuk meningkatkan keaktifan kader dalam kegiatan Posyandu.

I. Dukungan dari Masyarakat / LKMD
LKMD mempunyai peranan besar dalam upaya peningkatan tarap kesehatan masyarakat di desa / kelurahan. Dalam hal ini termasuk upaya penurunan angka kematian bayi, anak balita, ibu hamil dan angka kelahiran, khususnya yang diupayakan melalui posyandu dengan kegiatanya.
Perananan LKMD dalam pembentukan Posyandu;
1) Mengusulkan, mendorong dan membantu kepala desa / kelurahan untuk membentuk posyandu di wilayahnya.
2) Memberi tahu masyarakat tentang pentingnya posyandu serta cara pembentukannya.
3) Membantu secara aktif pelaksanaan pengumpulan data dan musyawarah masyarakat dalam rangka membentuk Posyandu, penentuan lokasi, jadwal, pemilihan kader dan lain-lainnya.

Peranan LKMD dalam pelaksanaan Posyandu:
1. Mengingatkan mendorong dan memberi semangat agar kader selalu melaksanakan tugasnya di Posyandu dengan baik.
2. Mengingatkan ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan anak balita serta ibu usia subur agar datang ke Posyandu sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Peranan LKMD dalam pembinaan Posyandu.
1. Mengamati apakah penyelenggaraan Posyandu telah dilakukan secara teratur setiap bulan, sesuai jadwal yang telah disepakati.
2. Mengamati apakah Posyandu telah melaksanakan pelayanan secara lengkap (KIA, KB, Gizi, Immunisasi dan penanggulangan diare).
3. Memberikan saran-saran kepada kepala desa / kelurahan dan kader agar Posyandu dapat berfungsi secara optimal ( agar buka teratur sesuai jadwal, melakukan pelayanan secara lengkap dan dikunjungi ibu hamil, ibu dan anak balita serta ibu usia subur).
4. Bila dipandang perlu, membantu mencarikan jalan agar Posyandu dapat melakukan pemberian makanan tambahan kepada bayi dan anak balita secara swadaya.
5. Mengingatkan kader untuk melakukan penyuluhan di rumah-rumah ibu (kunjungan rumah) dengan bahan penyuluhan yang tersedia.
6. Mencarikan jalan dan memberi saran-saran agar kader dapat bertahan melaksanakan tugas dan perannya (tidak drop out). Misalnya dengan pemberian penghargaan, mengupayakan alat tulis atau bantuan lainya.
7. Membahas bersama kepala desa / kelurahan dan tim pembina LKMD Kecamatan cara-cara pemecahan masalah yang dihadapi Posyandu.
8. Agar pembinaan Posyandu dan pembinaan kader dilakukan oleh LKMD ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka cara dan pesan-pesan penyuluhan yang berkaitan dengan promosi Posyandu juga perlu dipahami oleh LKMD.